Awal Reformasi dan Kekerasan
Reformasi bergulir sesuai dengan permintaan rakyat. Soeharto lengser digantikan B.J Habibi. Hiruk pikuk suka ria nampak dalam raut wajah mereka. Mereke menceburkan diri dalam ekstase semangat menyongsong reformasi dari hasil ide garapan mereka. Tak pelak, nasib menyoal nyawa pun jadi perhatian nomor dua. Pertama dalam benak, terbesit adalah menggulingkan rezim Soeharto sampai ke akar-akarnya.
B.J. Habibie acap kali kita kenal seorang ber IQ tinggi itu, menjadi pengganti Soeharto usai memutuskan mundur pada bulan Mei 1998. Keberadaan Habibie sebagai pemegang kendali pertama tersirat pro dan kontra. Mahasiswa menganggap Habibie itu tinggalan orde baru. Keberjalanannya masih punya pengaruh dengan Soeharto. Beberapa mengucap sepakat, karena amanat reformasi kudu ditegakan termasuk membangun rumah bersama, paska di dekontruksi dengan kesadaran.
Memperbaiki situasi yang tak baik-baik sahaja, bukanlah hal yang mudah. Tak hanya di Jakarta yang jadi tempat pertarungan aktivis menyampaikan uneg-unegnya agar segera diselenggarakan pemilihan umum ataupun Habibie kudu lengser dari kursi kekuasaan. Di Kupang, terjadi pembakaran senggolan antar etnis berujung kemelut pertumpahan darah.
Situasi triwulan awal reformasi sangat begitu pelik. Sekolah, Masjid dan Gereja semuanya dibakar. Kebencian telah merambat mencokol kuat dalam diri pelaku. Motif dari semua itu beberapa berasumsi liar untuk mencoba segera mengubur sikap “dendam’, ujar Y.B Mangunwijaya.
Sedangkan bagi Ulil Abshar Abdala, menganggap peristiwa pembakaran masjid dan gereja karena konsep mengekang oleh orde baru ketika kelompok-kelompok tak boleh berkembang membuat ranting di desa-desa atau kelurahan. Hal tersebut menjadikan masyarakat tak biasa menyelesaikan segala problema dengna dewasa, acap kali mengarah kepada penyelsaian secara primordial sahaja, seperti pendekatan; kelompok, agama yang riskan terjadi benturan.
Konsep orde baru dikenang sebagai konsep yang monolitik. Politik ala orde baru lebih tinggi dibandingkan dengan politik demokrasi sesuai dengan kesadaran berhimpun masyarakat tertentu. Kendati demikian, negara itu jadi sentral apapun. Kondisi ini berimbas pada sakelijk yang berujung tak dihargainya gagasan ataupun ide dari kelompok-kelompok agama yang sejatinya perlu bereksistensi.
Tak seimbang antara agama dan politik itu bisa berujung malapetaka. Kesenjangan sikap dan peran penghargaan kepada organisasi masyarakat nyatanya membuat murung kehidupan sekitar. Kebebesan itu ibaratkan gas dalam tabung yang selalu ditutup tak pernah bersinggungan dengan kondisi luar. Bilah sahaja terpantik percikan api, mafhum bakal meledak. Begitu pun juga dengan masyarakat dan politik kita.
Kebebasan ekspresi dikebiri itu penyakit utamanya. Kendati demikian, membuka ruang selebar-lebarnya harus benar-benar terelaisasi tanpa tedeng aling-aling. Hari ini reformasi telah berusia 24 tahun, usia yang terbilang muda untuk optimis memandang republik yang lebih menghargai juga memahamai maksud kebhinekaan.